Mengupayakan keberhasilan adalah juga OTOMATIS upaya menghindari kegagalan

Minggu, 09 Juni 2013

Robohnya Surau Kami, Robohnya Rasa Kepedulian


Robohnya Surau Kami, Robohnya Rasa Kepedulian

Oleh : Eva Juliyanti
S
ebuah karya sastra dikatakan bemanfaat jika mendapatkan respon dari pembacanya, respon dari pembaca ini dapat diungkapkan melalui sebuah kritikan terhadap suatu karya tersebut. Dalam mengkritik sebuah karya sastra seorang kritikus melakukan aktivitas yang mencakup 3 (tiga) hal, yaitu menganalisis, menafsirkan, dan menilai karya sastra.
Dalam melakukan aktivitas itu kita dapat menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan structural, antropologi, semiotika, feminisme, psikologi, sosiologi, hermeneutika dan stilistika sebagai pisau bedah untuk membredeli karya sastra.
Haji Ali Akbar Navis atau dikenal dengan AA Navis lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang 17 November 1924 merupakan sastrawan yang dujuliki Sang Kepala Pencemooh. Entah mengapa julukan ini sampai padanya. Mungkin karena ia adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos dan apa adanya. Ia mempunyai pendirian bahwa yang hitam itu tetap hitam dan putih tetaplah putih.
 Ia amat sedih melihat para tikus-tikus alias koruptor yang menggrogoti negeri ini. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan, tapi jika diberi pilihan ia akan memilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Sungguh semangat yang begitu besar dan mungkin sangat jarang kita temui pada generasi sekarang ini.
Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya-karya yang apik dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.
Ia mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami (1955) adalah Bianglala (1963), Hujan Panas (1964); Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), hingga karya terakhirnya yang bertajuk Jodoh (1998).
Pada cerpen berjudul Robohnya Surau Kami ia ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa adanya keruntuhan ideology beragama yang disebabkan oleh hal yang kecil namun berakibat fatal dalam kehidupan. Hal ini ditunjukaan dengan watak tokoh-tokoh yang ia lakonkan dalam cerpen tersebut.
AA Navis yang berasal dari Sumatra Barat yang identik dengan nilai keagamaannya, dalam cerpen ini sangat kental nilai agamanya. Cerpen ini mencerminkan seorang hamba yang taat kepada Allah namun melupakan kehidupannya di dunia. Hal ini ditunjukan pada tokoh kakek Garin dan Haji Saleh mereka merupakan seorang hamba yang sangat taat kepada Allah. Begitu patuhnya ia kepada Allah dan tak ingin mengecewakan Allah sampai-sampai mereka melupakan kewajibannya sebagai mahluk sosial alias manusia. Seperti pada kutipan dialog kakek Garin di bawah ini :

“ Sedari muda aku di sini bukan? Tak ku ingat punya isri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

 Dan dialog Haji Saleh dengan Allah,
“ Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
“ Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri,melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
            Terlihat jelas dari dialog yang diucapkan oleh kakek Garin  bahwa ia hanya memikirkan hubungannya kepada Allah dan menghiraukan keadaan disekelilingnya. Ia lupa akan kodratnya sebagai manusia yang saling membantu dan melengkapi.
            Pada dialog Haji Saleh kepada Allah terpampang juga bahwa Allah marah kepada hambanya yang hanya menyembahnya tanpa melakukan hal yang bermanfaat bagi orang di sekitarnya.
            Dengan keegoisan yang dimiliki oleh para tokoh ini mengakibatkan hal yang bersifat fatal dan merugikan orang yang berada di sekelilingnya. Mereka tidak memanfaatkan dan melestarikan kekayaan alam yang diberikan Allah, sehingga kekayaan yang sangat melimpah itu dirampas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
            Al-hasil kekayaan yang kita miliki telah berpindah tangan menjadi hak milik orang lain dan kita seakan-akan menumpang di Negara lain yang notabene merupakan Negara kita. Hal itu karena ketidakpedulian kita terhadap kekayaan alam yang kita miliki.
            Jika sudah begini yang dapat dilakukan oleh kita adalah mengecam atau orang yang telah merebut kekayaan alam yang kita miliki. Sebelum kekayaan itu diklaim oleh pihak lain kita hanya bisa diam dan acuh, namun jika sudah diklaim barulah kita kebakan jenggot untuk merampasnya lagi.
                                                            *          *          *
            Sikap acuh kita terhadap nikmat yang diberikan Allah itu berarti kita tidak bersyukur terhadap-Nya. Dan seperti janji Allah “ Barang siapa mensyukuri nikmat Ku maka akan ku tambah nikmat itu.”
Selain kita menyembah kepada Allah kita juga harus melihat keadaan sekitar kita dan peduli terhadap apa yang telah Allah ciptakan di dunia ini. Namun, kenyataannya kita selama ini hanya merusak dan bersikap acuh tak acuh terhadap keadaan sekitar kita khususnya kekayaan alam yang dimiliki negri ini. Allah berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 41 

Telah terjadi kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar meraka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Dalam ayat ini jelas bahwa Allah akan memberikan ganjaran bagi orang yang telah merusak apa yang ada di muka bumi ini. Kita boleh memanfaatkan sumber daya alam yang ada di negri ini namun, alangkah bijaknya jika kita memeliharanya juga.
            Nah, jelas sudah bahwa dalam menjalani hidup ini seyogyanya kita bersikap adil antara dunia dan akhirat. Kita sebagai hamba di hadapan Allah dan kita sebagai pemipin di negri ini. Kita lah yang memajukan negri ini salah satunya dengan memlihara dan menjaga apa yang dimiliki negri ini. Bangsa lain iri melihat kekayaan alam negri ini, sehingga mereka berusaha dengan berbagai cara untuk merebut bahakan untuk mencuri sedikit demi sedikit dari kekayaan alam negri nan subur ini.
 ***

 Penulis adalah Mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UMSU

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar