Mengupayakan keberhasilan adalah juga OTOMATIS upaya menghindari kegagalan

Selasa, 26 Mei 2015

Kenapa ya, Kok Gue Belom Nikah-Nikah?


“Kenapa sih, gue ga nikah-nikah? Padahal, menurut gue, gue udah mempersiapkan diri gue lebih banyak ketimbang temen gue yang baru nikah itu?“
Ini adalah pertanyaan klasik yang akhir-akhir ini sering gue denger dan ntah kenapa orang-orang ini nanya pertanyaan ini ke gue juga. Jujur, awalnya gue sempet beberapa kali nanya pertanyaan itu ke diri gue sendiri.
“Kenapa ya, kok dia udah nikah? Kenapa ya, kok gue belom? Gue kurangnya di mana, kok Allah masih merahasiakan keberadaan si pangeran sampe sekarang?“
Gue yakin sih, pertanyaan kayak gitu pasti udah sering banget keluar dari orang-orang yang merasa sudah siap menikah, tapi jodohnya masih belum dikasih sama Allah. Gue yakin, pertanyaan kayak gitu bukannya bikin kalian tambah tenang, malah bikin tambah stress. Dan gue yakin juga, ga ada satupun orang yang bisa menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang jelas. Semua orang yang ditanya, pasti jawabannya serba mungkin,
“Ya mungkin kamu…“
Makanya, makin kesini gue makin sadar kalau pertanyaan kayak gitu tuh gausah ditanyain lagi, karena ga akan pernah ada habisnya. Hal kayak begini itu udah bener-bener jadi rahasia Allah yang ga akan pernah ketemu jawabannya walaupun kita berusaha nanya-nanya ke orang atau bolak balik nanya ke Allah setiap habis shalat.
Kan ga mungkin tiba-tiba lagi doa gitu, tau-tau ada suara datang memberi jawaban,
“Iya Dhira, jodohmu datang besok pagi.“
Horor bengjet keles. Yang ada malah kalang kabut, kalau tiba-tiba denger suara-suara kayak gitu haha.
Sekarang, gue lebih milih fokus nanya,
“Bagaimana ya caranya supaya akhirnya Allah melihat gue siap menikah dan pada akhirnya sang pangeran sejatipun muncul?“
Formulasi pertanyaannya sekarang
‘Bagaimana‘
. Berhenti nanya,
‘Kenapa…kenapa..dan kenapa…‘
Buang-buang waktu, kawan. Ga akan ada jawabannya juga. Iya, kan?
Percaya deh,
‘Jodoh kita pasti datang tepat waktu dan Allah pasti punya alasan kenapa belum memberikan jodoh kita sekarang.‘
Mungkin salah satu cara, supaya kita bisa tahu apa yang harus diperbaiki dalam diri kita, dengan melihat sekeliling kita. Bisa jadi, hal-hal besar mengenai pernikahan kita sudah menguasai, tetapi justru hal-hal paling kecil kita belum bisa atau belum terbiasa melakukannya. Contoh :
Bisa jadi pasanganmu nanti itu seneng ngundang tamu ke rumah.
Tapi, sampai sekarang mungkin kamu belum bisa memuliakan tamu. Kenapa? Karena menurutmu hal yang bikin sebel kalau ada tamu datang ke rumah, ketenanganmu jadi terganggu. Jadi harus repot-repot pake kerudung misalnya. Jadi harus nyuguhin minum atau nyiapin makanan buat sang tamu misalnya. Jadi harus ngeluangin waktu buat ngobrol sama tamu, padahal kamu lebih suka diem di kamar dibandingkan keluar kamar misalnya. Jangankan tamu sendiri, tamu orang tuamu yang dateng aja kamu cuekin. Ibumu sibuk nyiapin suguhan untuk tamu, buat minum, sampe bingung nyuguhin makanan karena ternyata hari itu ga masak apa-apa. Akhirnya ibumu sibuk keliling komplek untuk cari tempat jualan makanan yang buka hari itu, kamunya ga terusik. Asik aja sendiri di kamar. Tamu dateng bukannya salim, malah sibuk ngeloyor aja. Bikin malu orang tuamu misalnya. Coba itu, mau jadi istri kayak gitu? Nanti kamu mau menyambut setiap tamu dari suamimu gimana caranya coba? Yang kayak gitu kan, ga bisa langsung ‘CLING‘ terbiasa.
Hayo, coba bayangin kalau kamu nikah sekarang? JGERR Tralalala, puyeng udah. Apalagi kalau tamu suamimu dateng tiap hari dan kamu posisinya belum punya pembantu. Nahloh, mau apa hayo? Mau diem aja di kamar?
Makanya mungkin kata Allah, kamu harus belajar memuliakan tamu dulu sekarang. Karena bisa jadi, hanya karena masalah ini yang bikin kamu dan suamimu bertengkar hebat di kemudian hari. Iya kan? Bisa jadi hayoh. Hal ini sepele loh, tapi kamu udah bisa belom?
Atau bisa jadi, ternyata kamu itu sekarang ga ‘care‘ orangnya. Orang tua masih lengkap, punya saudara kandung juga, tapi kamu sibuk sendiri. Merasa orang tersibuk sejagad. Jarang punya quality time sama keluarga. Bisa diitung jari, kapan terakhir kali kamu ngobrol sama keluargamu. Sampai ga menyadari bahwa orang tuamu itu semakin lama semakin tua, sudah banyak lupanya. Mereka butuh perhatian lebih darimu. Sekedar untuk ngobrol sebentar, sekedar ingin untuk dibuatkan kopi di pagi hari, sekedar ingin dipeluk dan dicium sebentar olehmu. Tapi kamu ga peduli, kamu sibuk sendiri. Merasa kamu sudah besar, malu memeluk atau mencium orang tuamu sendiri. Hei, kamu itu anaknya. Peluk dan cium itu berlaku sepanjang usia, loh. Mumpung orang tuamu masih ada, masih bisa melakukan itu semua. Coba kalau sudah tidak ada, mau mencium tanah di kuburan mereka? Apa enaknya?
Buat jejak kehadiran orang tuamu di dalam ingatanmu. Sehingga ketika mereka dipanggil Allah, kamu masih ingat bagaimana rasanya hangatnya pelukan orang tuamu, bagaimana lembutnya kedua pipi orang tuamu ketika kamu menciumnya, bagaimana asiknya mendengar tawa renyah orang tuamu ketika kamu bercerita tentang kejadian lucu di hari itu…
Kamu juga ternyata punya saudara kandung yang sekarang sudah semakin besar. Bahkan kamu ga tahu mereka sekarang kelas berapa, umurnya berapa. Kamu ga tahu bahwa sebenarnya adik atau kakakmu menunggumu pulang setiap hari hanya untuk curhat masalah pekerjaannya atau sang adik ingin minta perlindungan kepadamu bahwa sebenarnya tiap hari dia di bully di sekolahnya, tapi takut untuk mengadu ke ayah dan ibumu. Hanya kamu tempat adikmu menaruh harapan untuk cerita, tapi kamu tidak pernah ada waktu. Handphone sudah menjadi temanmu, pekerjaan lebih kamu sayang ketimbang keluargamu sendiri.
Mungkin, alasan kenapa Allah belum mengizinkan kamu menikah adalah Allah ingin kamu lebih menyayangi dulu keluargamu. Memberikanmu waktu luang untuk habis-habisan mecurahkan kasih sayang yang kamu punya ke keluargamu. Memijat orang tuamu ketika mereka lelah karena sudah terlalu tua, meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah saudara-saudara kandungmu, menyisihkan sedikit waktu diantara waktu sibukmu untuk jalan-jalan bersama keluargamu. Karena bisa jadi, suamimu nanti akan membawamu pergi jauh tinggal di luar pulau atau bahkan ke luar negeri dalam jangka waktu yang sangat lama, sehingga akan bertambah sulit untukmu bertemu dengan keluargamu. Sekarang, mumpung waktunya masih ada…pergunakan coba :)
Karena banyak alasan tersembunyi kenapa Allah belum memberikan jodoh kita sekarang. Tapi bisa jadi clue yang Allah berikan muncul, ketika kita mencoba melihat kesekeliling dan melihat ke dalam diri kita sendiri. Mungkin ikhtiar kita kurang kuat untuk menikah. Mungkin level pasangan kita sebenarnya ada di atas kita, sehingga kita harus berusaha keras memantaskan diri supaya levelnya bisa sejajar dengan pasangan kita nanti. Mungkin selama ini cara kita berhubungan dengan lawan jenis itu salah. Bagaimanapun usaha kita, kalau cara yang dipakai tidak sesuai dengan aturan dari Allah, maka bisa jadi Allah ga ridha. Jadi wajar kalau ujung-ujungnya ga berakhir di pelaminan.
Coba direnungkan lagi apa yang salah dalam diri kita. Kalau perlu tanya ke orang-orang terdekat kita, apa yang harus diperbaiki dalam diri supaya menjadi semakin dekat dengan Allah. Karena ketika ingin menikah, yang dirayu itu bukan sang calon pasangan, tapi Allah yang mesti dirayu, Allah yang mesti di deketin :)
Tugas kita sekarang fokus beneran deh, memperbaiki diri karena Allah. Ga ada jawaban lain kayaknya. Berhenti nanya-nanya,
“Kenapa gue belom nikah?”
Karena ujung-ujungnya hati kita bisa penuh berisi rasa iri terhadap orang lain ketimbang membuat diri kita sendiri menjadi lebih baik.
Terus bisa jadi Allah itu sebenernya kangen berat sama kamu. Allah pengen denger kamu meminta kepada-Nya, kriteria pasangan hidup seperti apa yang sebenarnya kamu mau. Bisa jadi selama ini kamu cuma sibuk pengen aja, tapi ga pernah berdoa sama Allah untuk dipilihkan kriteria pasangan hidup yang kamu inginkan. Memang, Allah selalu tahu segalanya tentang keinginan hamba-Nya tanpa harus berdoa. Tetapi ingat ya, ketika ingin sesuatu itu ada etikanya. Berdoa salah satu caranya. Allah senang ketika hamba-Nya meminta. Allah senang ketika kamu mendekat dan bercerita mengenai setumpuk keluh kesahmu.
Allah ada untuk kita, Allah ada untuk hamba-Nya. Memperbaiki diri kita, meminta, mendekat kepada-Nya adalah cara untuk kita dalam berikhtiar mendapatkan jodoh yang selama ini kita harapkan kedatangannya. Karena Allah ingin Ia selalu dilibatkan dalam setiap gundah gulananya kita. Karena Allah ingin selalu mendengar kita meminta :).
Allah yang mengatur semuanya, Allah pula yang memberikan skenario cinta kepada masing-masing hamba-Nya dengan alur cerita yang berbeda. Jodoh kita pasti datang tepat pada waktunya dan bisa jadi datang dari arah yang tidak disangka-sangka sebelumnya :)
Bogor, 16 April 2015
Hati kita milik Allah, hati pasangan hidup masa depan kitapun milik-Nya.
Semoga masing-masing dari kita dipertemukan dengan jodohnya dengan jalan yang luar biasa indah dari-Nya :)
Posted by

Selasa, 21 April 2015

Mencari Sahabat



Dalam perjalanan hidupnya. Tidak setiap orang bertemu dengan teman dekatnya, yang karena dekatnya lalu disebut sebagai sahabat. Bertanya-tanya mengapa orang lain memiliki sahabat sementara dia sendiri tidak.
tidak dekat dengan siapapun, bilapun orang lain merasa dekat. Ia merasa biasa-biasa saja.
Ia tidak tahu kepada siapa bisa bercerita. Tidak tahu kepada siapa hendak pergi bersama. Merasa begitu tenang sendirian, karena terbiasa sendiri. Merasa tidak suka diusik, meskipun ingin sekali bercerita. Tapi kepada siapa.

Ia tidak pernah merasa sangat dekat kepada siapapun. Setiap kali kakinya melangkah, matanya menangkap perasahabatan orang lain. Mendengar dari kata-kata teman. Dan ia tidak pernah memilikinya.
Ia hidup sendiri. Merasa sendiri dan begitu mencintai kesendiriannya. Meski pada saat yang sama dia bertanya-tanya. Siapakah yang sanggup menembus hatinya.

Ia sendiri tidak tahu, apakah dia yang memiliki tembok yang tinggi atau orang lain yang membatasi dirinya. Ia merenungkan arti persahabatan dari orang-orang. Ia tidak tahu. Orang datang silih berganti di dalam hidupnya, tidak pernah ada yang benar-benar tinggal lama. Sebagai teman baik.
Ia menanyakan pada dirinya. Apa yang sebenarnya ia butuhkan. Sebab apa ia memiliki batas yang begitu tinggi. Sampai kapan ia akan menutup diri. Sampai kapan ia akan memberikan kepercayaan kepada orang. Mungkin cukup kepada satu orang, teman hidup. Sahabat yang mungkin hanya akan ada satu saja sepanjang hidupnya.

Tekat itu yang menentukan

Belajarlah berpikir lebih sederhana (yang namanya belajar ya enggak langsung bisa, tapi kalau enggak mau belajar ya susah bisa). Bahwa kehidupan memang selalu ada risiko, bahwa setiap risiko tidak bisa terus menerus dihindari.
Karena seringkali tanpa sadar kita tengah bunuh diri dengan ruetnya pemikiran kita sendiri. Semakin banyak ruetnya, semakin sering pula waktu terbuang, sadar-sadar sudah kembali dihimpit sesal.
Sadarkah kita, sering kali kita terlalu manja pada perasaan, seakan-akan mereka ada tujuan paling utama, padahal banyak kewajiban yang masih terlupakan.
Sudah yakinkah yang benar kewajiban sudah dikerjakan dengan matang?
Oh, Tuhan, betapa rasa memang memabukkan, karena sekalinya kita menelan bulat-bulat kita jadi makin ketagihan.
Hanya yang benar-benar bersungguh, yang akan lebih cepat menemukan jalan.
Sudahkah kita benar bersungguh?

Oh, Tuhan, betapa kita terlalu terlena pada gunung perasaan. Bahwa kita, tengah dengan senang membiarkan perasaan menjajah harapan-harapan baik yang masih Engkau sembunyikan di hari depan. Betapa kita tengah menjadi perugi yang tak lekas sadar diri.
Waktu tidak akan mengajarkan apapun, selain kita yang benar bertekad mau mempelajari alur kehidupan.

Minggu, 01 Februari 2015

Kulihat Ia Tak Lagi Muda..


Kulihat zaman semakin senja..
Semburat-semburat jingganya tenang berpendar-pendar..
Menentramkan..
Kuhirup angin kala langit semakin gelap..
Menyapu tubuh yang seharian ditumpuk pekerjaan..
Dingin.. Menyenangkan..
Dalam teknologi tanpa kabel, gelombang suaramu dihantarkan ke telingaku..
Lemah.. Lelah.. Entah..
Terindu garis wajahmu dipelupukku..
Kuperhatikan ceritamu.. Berulang dari beberapa hari lalu..
"Ibuku menua.. Mengulang ceritanya.." kata dalam hatiku..
Akan kudengar.. Terus kudengar.. Meski tak sesabar ketika dulu engkau dengarkan kata dan tanya yang kuulang beribu-ribu kalinya..
Akan kusimak.. Terus kusimak..
Meski tak semulia ekspresimu menanggapiku tatkala kueja cerita pertama saat aku hanya balita..

Ia mengulang ceritanya…
Lalu aku tergugu menahan sedu. 
Tersedak menahan cekat..
Bahwa ia tak lagi muda…
Ibuku tak lagi muda…..

*tears*
*tears*
*tears*

Wanita terindah..


Ia adalah wanita yang tak hanya cantik, tapi juga indah. Keindahan hatinya tak kan pernah ternilai dengan berlian maupun permata. 
Ia ada ketika engkau dalam keadaan senang maupun sedih. Ia adalah orang pertama yang menitikkan air mata ketika melihatmu tengah berduka, dan ia adalah orang pertama yang akan berdoa penuh kesyukuran ketika bahagia tengah engkau rasa.
Tapi terkadang, ia akan menjadi orang terakhir. Ia akan menjadi orang yang paling akhir bisa terlelap dalam tidurnya ketika engkau tengah sakit, memastikan bahwa engkau bisa tidur tenang dan berharap agar rasa sakit yang kau rasa bisa berpindah padanya.
Ia adalah wanita paling setia, Ia setiap pagi membuatkan teh hangat dan sarapan paling nikmat untukmu. Lalu Ia dengan setia menungguimu di depan pintu rumah ketika senja datang dan engkau belum juga pulang. 
Ia adalah wanita yang hatinya bening bagai telaga, berkali kau membuatnya bersedih atau menangis, tapi Ia bahkan punya lebih banyak cinta dan kasih sayang untuk memaafkanmu.
Ia yang tangannya bahkan lebih lembut dari sutra, tangan yang selalu ada untuk membelai dan memelukmu erat, tangan yang tak pernah hilang kelembutannya walau berbagai pekerjaan berat telah dilakukannya, untuk memastikan bahwa engkau memiliki segala hal terbaik yang layak untuk kau miliki.
Ia ada untuk menjadi malaikat kita di dunia, menjadi pelita ketika kita mulai kehilangan arah, menjadi jalan kita menuju Surga dengan bakti kita yang sungguh sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan ribuan pengorbanannya.
Ia adalah Ibumu…yang senyumnya selalu bisa menyejukkan hatimu…
Sayangilah Ibumu, berbaktilah pada Ibumu, di saat engkau masih bisa membersamainya di dunia, dan doakanlah Ia agar kelak bisa kau temui lagi di taman Surga :)
Ini, adalah surat cintaku untukmu, Ibu. Dan taukah aku menangis ketika menuliskannya, karena aku rindu, rindu akan waktu yang kuhabiskan  bersamamu dan selalu bisa seperti itu selamanya :)

Sang ibunda Tercinta





Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun.
Ibumu bersusah payah ketika melahirkanmu saat nyawanya hampir terancam.
Ibumu telah menyusuimu dan dia hilangkan rasa mengantuknya karena menjagamu.
Ibumu  lebih utamakan dirimu dari pada dirinya serta makanannya.
Ibumu jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.
Ibumu telah memberikanmu semua kebaikan & apabila kamu sakit atau mengeluh kelihatan kerisauan yang luar biasa.
Seandainya dipilih antara hidupmu & kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.
Betapa banyak kebaikan ibumu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.
Ibumu selalu mendoakanmu dgn Taufik, baik secara sembunyi mahupun terang-terangan.
Takkala ibumu memerlukanmu di saat dia sudah tua, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.
Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.
Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan.
Engkau mendahulukan berbuat baik kepada isteri & anakmu dari pada ibumu.
Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia buat.
Berat rasanya bagimu menjaganya padahal itu adalah hal yang mudah.
Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.
Engkau tinggalkan dia dan kamu kira dia ada yang menjaganya selalu ternyata tidak ada hanya kamu satu satunya yang bisa menjaganya.
Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘Ah’ & Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.
Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.
Allah akan membalas di akhirat, dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.
Semoga Allah memelihara kita dalam mencari KeredhaanNya.

Wallahhu Ta’ala a’lam.