Robohnya Surau Kami, Robohnya Rasa Kepedulian
Oleh : Eva Juliyanti
S
|
ebuah karya sastra dikatakan bemanfaat jika
mendapatkan respon dari pembacanya, respon dari pembaca ini dapat diungkapkan
melalui sebuah kritikan terhadap suatu karya tersebut. Dalam mengkritik sebuah
karya sastra seorang kritikus melakukan aktivitas yang mencakup 3 (tiga) hal, yaitu menganalisis,
menafsirkan, dan menilai karya
sastra.
Dalam melakukan aktivitas itu kita
dapat menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan structural, antropologi,
semiotika, feminisme, psikologi, sosiologi, hermeneutika dan stilistika sebagai
pisau bedah untuk membredeli karya
sastra.
Haji
Ali Akbar Navis atau dikenal dengan AA Navis lahir di Kampung Jawa, Padang
Panjang 17 November 1924 merupakan sastrawan yang dujuliki Sang Kepala
Pencemooh. Entah mengapa julukan ini sampai padanya. Mungkin karena ia adalah
salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos dan apa adanya. Ia mempunyai pendirian
bahwa yang hitam itu tetap hitam dan putih tetaplah putih.
Ia amat sedih melihat para tikus-tikus alias koruptor yang menggrogoti negeri ini.
Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam
kehidupan, tapi jika diberi pilihan ia akan memilih jadi penguasa untuk
menangkapi para koruptor. Sungguh semangat yang begitu besar dan mungkin sangat
jarang kita temui pada generasi sekarang ini.
Sepanjang
hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya-karya yang apik dalam lingkup
kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia
banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak
digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita
anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga
penulisan otobiografi dan biografi.
Ia
mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian
dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65
karya sastra dalam berbagai bentuk. Beberapa karyanya yang amat terkenal,
selain Robohnya Surau Kami (1955) adalah Bianglala (1963), Hujan Panas (1964);
Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat
Sekoci, (1975), hingga karya terakhirnya yang bertajuk Jodoh (1998).
Pada
cerpen berjudul Robohnya Surau Kami
ia ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa adanya keruntuhan ideology beragama
yang disebabkan oleh hal yang kecil namun berakibat fatal dalam kehidupan. Hal
ini ditunjukaan dengan watak tokoh-tokoh yang ia lakonkan dalam cerpen
tersebut.
AA Navis yang berasal dari Sumatra Barat yang identik
dengan nilai keagamaannya, dalam cerpen ini sangat kental nilai agamanya.
Cerpen ini mencerminkan seorang hamba yang taat kepada Allah namun melupakan
kehidupannya di dunia. Hal ini ditunjukan pada tokoh kakek Garin dan Haji Saleh mereka
merupakan seorang hamba yang sangat taat kepada Allah. Begitu patuhnya ia
kepada Allah dan tak ingin mengecewakan Allah sampai-sampai mereka melupakan
kewajibannya sebagai mahluk sosial alias manusia.
Seperti pada kutipan dialog kakek Garin
di bawah ini :
“
Sedari muda aku di sini bukan? Tak ku ingat punya isri, punya anak, punya
keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak
ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan
kepada Allah Subhanahu wataala. Tak
pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi
kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu
yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku
mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada
dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi.
Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud
kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.
Alhamdulillah kataku bila aku
menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku
bila aku terkejut. Masya Allah kataku
bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk."
Dan dialog Haji Saleh dengan Allah,
“ Salahkah menurut pendapatmu,
kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
“ Tidak. Kesalahan engkau, karena
engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu
kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri,melupakan
kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya.
Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Terlihat jelas dari dialog yang
diucapkan oleh kakek Garin bahwa ia hanya memikirkan hubungannya kepada
Allah dan menghiraukan keadaan disekelilingnya. Ia lupa akan kodratnya sebagai
manusia yang saling membantu dan melengkapi.
Pada dialog Haji Saleh kepada Allah
terpampang juga bahwa Allah marah kepada hambanya yang hanya menyembahnya tanpa
melakukan hal yang bermanfaat bagi orang di sekitarnya.
Dengan keegoisan yang dimiliki oleh
para tokoh ini mengakibatkan hal yang bersifat fatal dan merugikan orang yang
berada di sekelilingnya. Mereka tidak memanfaatkan dan melestarikan kekayaan
alam yang diberikan Allah, sehingga kekayaan yang sangat melimpah itu dirampas
oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Al-hasil kekayaan yang kita miliki
telah berpindah tangan menjadi hak milik orang lain dan kita seakan-akan
menumpang di Negara lain yang notabene merupakan Negara kita. Hal itu karena
ketidakpedulian kita terhadap kekayaan alam yang kita miliki.
Jika sudah begini yang dapat
dilakukan oleh kita adalah mengecam atau orang yang telah merebut kekayaan alam
yang kita miliki. Sebelum kekayaan itu diklaim oleh pihak lain kita hanya bisa
diam dan acuh, namun jika sudah diklaim barulah kita kebakan jenggot untuk merampasnya lagi.
* * *
Sikap acuh kita terhadap nikmat yang
diberikan Allah itu berarti kita tidak bersyukur terhadap-Nya. Dan seperti
janji Allah “ Barang siapa mensyukuri nikmat Ku maka akan ku tambah nikmat
itu.”
Selain kita menyembah kepada Allah kita juga harus
melihat keadaan sekitar kita dan peduli terhadap apa yang telah Allah ciptakan
di dunia ini. Namun, kenyataannya kita selama ini hanya merusak dan bersikap
acuh tak acuh terhadap keadaan sekitar kita khususnya kekayaan alam yang
dimiliki negri ini. Allah berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 41
“ Telah terjadi kerusakan di darat dan dilaut
disebabkan perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar meraka merasakan
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar).”
Dalam
ayat ini jelas bahwa Allah akan memberikan ganjaran bagi orang yang telah
merusak apa yang ada di muka bumi ini. Kita boleh memanfaatkan sumber daya alam
yang ada di negri ini namun, alangkah bijaknya jika kita memeliharanya juga.
Nah, jelas sudah bahwa dalam
menjalani hidup ini seyogyanya kita bersikap adil antara dunia dan akhirat.
Kita sebagai hamba di hadapan Allah dan kita sebagai pemipin di negri ini. Kita
lah yang memajukan negri ini salah satunya dengan memlihara dan menjaga apa
yang dimiliki negri ini. Bangsa lain iri melihat kekayaan alam negri ini,
sehingga mereka berusaha dengan berbagai cara untuk merebut bahakan untuk
mencuri sedikit demi sedikit dari kekayaan alam negri nan subur ini.
***
Penulis adalah Mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar