”Lomba menulis cerpen untuk umum?” Dian membaca
brosur yang tertempel dipapan dekat gang rumahnya. ”Temanya ’dari hati untuk
Aceh’ dan untuk memperingati delapan tahun Tsunami,” lanjut Dian mengeratkan
pegangan pada tongkat disisi kanan dan kiri lengannya.
”Aku harus mengikuti lomba ini, masih punya waktu
dua minggu sebelum pengumpulan cerpennya. Tapi, bagaimana caranya aku menulis?
Cerpennya harus diketik, bukan tulis tangan, dan aku tidak tahu harus meminjam
computer siapa,” Dian membalikkan badannya dan bersandar dipapan yang ditempeli
brosur tadi. Sedetik kemudian Dian tersenyum senang, ”Aku bisa menabung sehari
seribu rupiah, dalam satu minggu bisa terkumpul tujuh ribu. Mungkin itu akan
cukup untukku ke warung internet diseberang jalan raya!” seru Dian bersemangat.
”Dian sedang apa disini?” Tanya Intan mengagetkan
Dian.
”Eh Intan, aku sedang membaca brosur lomba menulis
cerpen. Insya Allah aku ingin mengikuti lomba ini Tan, temanya sangat
menggugahku untuk ikut berpartisipasi,” terang Dian membenarkan letak kedua
tongkat yang menopang tubuhnya itu. Dian dan Intan berjalan dengan beriringan
meninggalkan jalanan sembari berbincang-bincang.
”Jadi kamu berniat menabung sisa dari uang jajan
yang diberikan bunda?” Tanya Intan meyakinkan Dian.
”Iya Tan, tidak ada cara lain. Aku tidak
mungkin meminta uang pada bunda. Kamu tahu kan, bunda pasti akan sangat marah
jika tahu uangnya aku pergunakan untuk pergi ke warnet, apalagi anak-anak lain
juga pasti membutuhkan uang, bukan hanya aku anak bunda. Masih banyak adik-adik
lain yang lebih membutuhkan,” jelas Dian.
”Tapi, uang jajan kita hanya lima ribu perhari
Dian, belum lagi uang kas kelas yang seribu perhari, ongkos naik labi-labi
pulang pergi dua ribu rupiah, dan hanya tinggal dua ribu jajan kita? Kamu mau
menyisakannya untuk ke warnet? Jangan bercanda Dian, mau jajan apa hanya dengan
seribu rupiah perhari?” Tanya Intan sedikit tidak percaya dengan ide Dian.
”Hanya uang jajanku Tan, bukan kita. Lagipula aku
bisa menahan lapar saat jam istirahat dengan membaca buku di perpustakaan,
kalau memang tidak bisa. Aku akan pulang jalan kaki ke—”
”Jangan bercanda Dian!” potong Intan. ”Pulang jalan
kaki? Jalan kaki katamu?” Intan menatap Dian kesal.
”Tidakkah kamu menyayangi dirimu sendiri
Dian? Kita naik labi-labi saja sudah harus menempuh perjalanan jalan kaki
berapa ratus meter untuk sampai ke panti asuhan? Dan sekarang? Kamu bilang mau
jalan kaki? Kamu bercanda Dian,” lanjut Intan sembari melirik kearah tongkat
dan kedua kaki Dian yang sudah tidak berfungsi.
“Anak ini begitu keras kepala, berjalan kaki?
Bukannya tongkat yang menjalankannya selama ini? Kenapa dia begitu keras kepala
ingin mengikuti lomba menulis cerpen. Mungkin benar karena memperingati Tsunami
Aceh, mengingat kami berdua sama-sama anak yatim piatu korban Tsunami yang
diasuh di panti asuhan. Dian pasti ingin memberikan sesuatu untuk Aceh. Tapi,
tidak harus dengan menyiksa dirinya seperti ini,” batin Intan.
”Aku akan melakukan usahaku sediri Tan, aku mohon
untuk kali ini. Biarkan aku berjuang sendiri. tidak ada salahnya bukan? Aku
ingin menghasilkan karyaku sendiri untuk Aceh, untuk Ibu dan Ayahku di surga,”
Dian menatap langit, begitu rindu akan belaian hangat sang Ibu, dan
nasihat-nasihat dari sang Ayah. Delapan tahun hidup di panti asuhan membuat
Dian tau apa arti perjuangan hidup. Untuk kali ini dia sudah bertekad akan
mengikuti lomba dan berjuang sampai batas akhir.
***
”Ini hari pertama,” gumam Dian sebelum akhirnya
berangkat kesekolah bersama Intan.
”Kamu keras kepala Dian,” Intan menatap sendu
kearah Dian. ”Apa biaya untuk formulir pendaftarannya sudah ada?” Tanya Intan,
sontak mengejutkan Dian.
”Aku lupa Tan, sepulang sekolah kita harus
ketempat kemarin lagi ya? hari ini aku harus menabung dua ribu. Biaya formulir
pasti lebih mahal dari biaya ke warnet walau hanya dua jam,” suara Dian
melemah. Sedikit merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa dia melupakan hal yang
begitu penting yaitu biaya formulir untuk mengikuti lomba ini.
Sepulang sekolah, seperti yang dikatakannya saat
pergi tadi. Dian dan Intan kembali ke tempat dimana pertama kali Dian melihat
brosur tersebut, dipersimpangan jalan raya dekat gang. Ternyata sesuai dugaan
dian, bahwa biaya formulir itu jauh lebih mahal dari biaya untuk ke warnet.
”Tiga puluh ribu Dian,” ucapan Intan seolah
menyadarkan Dian untuk memikirkan akan mendapatkan uang darimana. Bahkan untuk
menulis saja Dian harus menabung sehari seribu demi biaya ke warnet.
”Kamu ingin menyerah Dian?” Tanya Intan
hati-hati.
”Apa aku terlihat seperti ingin berhenti dan
menyerah?” Dian balik bertanya.
”Tidak akan semudah itu aku berhenti Tan, aku
akan mencari cara lain supaya mendapatkan biaya untuk membeli formulirnya,”
Dian menatap Intan dan berkata, ”Aku tidak akan pernah menyerah pada keadaan,
karena aku percaya usaha ku akan dilihat oleh Allah.”
***
Ke esokan harinya, Dian mulai menjajakan barang
dagangannya. Sepulang sekolah kemarin, Dian mempunyai ide untuk membuat
gantungan tas dari kain flannel. Semua kreatifitasnya membuat Dian bisa
menghasilkan berbagai macam bentuk boneka yang lucu-lucu.
”Aku tidak menyangka ini akan berhasil Intan,
semuanya laku, dan teman-teman memesannya lagi besok. Terima kasih atas
bantuanmu Intan, sepulang dari sekolah nanti, aku akan mengembalikan uang
tabunganmu yang aku pinjam untuk membeli kain ini. Setelah itu, lebih dari uang
ini akan aku pakai untuk membeli kain yang sama. Ini pasti akan cukup untuk
biaya formulir lombanya,” terang Dian tersenyum senang.
’Terima kasih ya Allah, atas jalan yang
engkau mudahkan untuk hamba,’ batin Dian.
***
Tepat seminggu sudah Dian mengumpulkan uang
jajannya. Hari ini, sepulang sekolah Dian sudah memutuskan untuk mampir ke
warung internet di seberang jalan sebelum gang panti asuhannya. Intan sudah
lebih dahulu pulang untuk memberi alasan kepada Bunda angkat mereka peruhal
Dian belum pulang.
Saat hendak menyeberang jalan, tidak sengaja Dian
melihat anak kecil berlari-larian dipinggir jalan. Dari arah berlawanan
terlihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Dian mempercepat langkah
tongkatnya agar bisa memegang tangan anak kecil tadi agar berhenti berlari-lari
karena akan membahayakan nyawanya. Tapi, anak kecil itu malah ketakutan saat
melihat ada orang yang berlari dengan tongkat kearahnya. Merasa seperti
dikejar-kejar, anak kecil ini pun menyeberang jalan dan semuanya terjadi begitu
cepat. Tangan dian menahan kap mobil dan anak kecil dibelakang dian ikut
terhuyung kearah berlawanan.
”DUARRRR!!!”
Ledakan besar terjadi sesaat setelah tabrakan.
Mobil yang menabrak Dian dan anak kecil itu melambung karena dari awal
dikemudikan dengan kecepatan tinggi. Percikan-percikan saat kecelakaan itu
membuat mobil tersebut terbakar.
Dian dan anak kecil tadi dilarikan kerumah sakit
Zainal Abidin dengan cepat. Sesaat setelah itu keadaan di lokasi kejadian
menjadi begitu ramai. Sedangkan semua keluarga yang terlibat dalam kecelakaan
berbondong-bondong datang untuk melihat keadaan anak mereka.
***
”Dian…,” isak tangis terdengar dari Intan dan bunda
mereka. melihat keadaan Dian sekarang, mereka tidak tahu harus memberikan
penjelasan seperti apa kepada Dian saat sadar nanti.
”Bunda…, Dian bunda,” Intan menangis melihat
kondisi sahabatnya. Bunda langsung memeluk Intan dengan sigap. Menenangkan anak
asuhnya yang sedang terpuruk.
”Jangan menangis nak, Dian akan kuat. Percayalah
padanya, Dian bukan anak yang lemah. Tsunami delapan tahun silam sudah
membuktikan betapa kuatnya Dian. Kedua kakinya diamputasi karena terhantam
benda keras kan? Tapi, lihatlah? Dia begitu ceria, tidak pernah menujukkan
betapa putus asanya dia akan kehidupannya. Remaja berumur enam belas tahun yang
harus menanggung pedih yang seperti ini? Dian kuat kan? sekarang pun Dian pasti
akan kuat. Percaya padanya nak. Allah akan melindungi Dian…,” Bunda menenangkan
dan memeluk Intan, meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
”Dian,” terdengar suara Intan kembali memanggil
Dian. Intan menitikan air mata menyaksikan Dian terbaring lemah dengan berbagai
alat yang terpasang ditubuhnya.
”Inta—an,” panggil Dian dengan suara yang
terputus-putus.
”Kamu akan baik-baik saja Dian,” Intan
mendekat, dan sedetik kemudian memeluk Dian erat.
”Tangan… tangan kananku tidak bisa digerakkan
Intan, tanganku kenapa?” Tanya Dian lirih.
”Semua akan baik-baik saja Dian,” Intan mengulang
dan meyakinkan Dian akan baik-baik saja.
”Aku Tanya tanganku kenapa? Tanganku Intan? Kenapa
tidak bisa digerakkan?” Tanya Dian mengeraskan suaranya. Nafasnya memburu,
jantungnya berdetak cepat, seolah satu fakta pedih harus diterimanya sesaat
setelah Intan menjawab.
”Tangan kananmu lumpuh Dian, hantaman yang begitu
keras membuat tulang ditanganmu retak, dokter tidak bisa melakukan apa-apa,
tapi mereka sudah berusaha melakukan yang terbaik,” jelas Intan, air mata
kembali mengalir dari sudut matanya saat melihat Dian memejamkan matanya.
Seolah menahan rasa perih yang begitu dalam, rasa sakit yang tak terhingga,
hingga membuat seolah dia begitu tak berarti lagi ada di dunia ini.
”Cerpen! Cerpenku! Bagaimana aku menulisnya
Intan! Bagaimana aku mewujudkan impianku untuk mengikuti lomba itu!” dengan
sigap Intan memeluk Dian, mencoba menenangkan sahabat terbaiknya.
”Berhenti memikirkan lomba itu Dian! Bahkan
disaat seperti ini kamu masih memikirkannya. Lupakanlah, sekarang kamu harus
fokus pada kesembuhanmu. Bukan yang lain!” bentak Intan.
***
Sudah empat hari Dian dirawat di rumah sakit. Hari
ini Dian sudah bisa duduk seperti biasa, hanya saja perlu pengawasan agar
kondisinya tidak drop tiba-tiba. Kursi roda yang diduduki Dian berjalan
mengelilingi taman rumah sakit. Intan yang mendorongnya mencari tempat yang
agak sejuk agar mereka bisa berteduh disana.
”Intan,” panggil Dian mengawali kecanggungan
mereka. Sejak hari dimana Intan membentaknya. Mereka berdua jadi sama-sama
menjaga jarak dan jarang berbicara.
”Maafkan aku,” ucapan maaf keluar dari bibir
Dian.
”Maaf karena begitu keras kepala. Aku tahu kamu
mengkhawatirkanku. Tapi, sekali saja. Ijinkan aku untuk mengikuti lomba itu
Intan. Aku ingin berpartisipasi dan menciptakan satu karya dari hatiku ini
untuk orangtuaku, untukmu, untuk bunda, untuk anak-anak panti asuhan yang lain,
dan yang terpenting adalah untuk Acehku tercinta, Aceh kita Intan. Tidak
bisakah sekali ini saja, bantu aku lagi Intan? Aku janji ini yang terakhir. Ini
yang terakhir aku bersikap keras kepala. Yang aku punya sekarang ini hanya
kalian. Dengan kondisi seperti sekarang ini aku yakin tidak akan bisa melakukan
apa-apa. Oleh karena itu bantu aku Intan? Aku mohon…,” Dian menangis dalam
diam. Terlihat Intan berdiri membeku, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
***
Perawat masuk dengan membawa laptop rumah sakit
yang dipinjamnya dari dokter yang menangani Dian. Intan yang memberitahukan
semua ini pada suster Fira.
”Terima kasih banyak suster,” Dian memeluk suster
Fira erat.
”Sama-sama Dain, mulailah menulis dengan
tangan kirimu. Jika tidak sanggup lagi, minta tolonglah pada Intan. Dia pasti
akan membantumu. Ini formulirnya, silahkan kamu isi untuk Dian, ya Intan?” kata
Suster Fira kemudian keluar ruang perawatan karena masih banyak perkerjaan
lainnya.
”Isi saja formulirnya Intan, akau harus
menyelesaikan ini sendiri dan tepat waktu!” seru Dian bersemangat.
”Sikap keras kepalamu muncul lagi ckck,”
gerutu Intan.
Seharian Dian berkutat dengan laptop dan lima
jarinya. Akhirnya cerpen Dian pun selesai, ”Aku butuh bantuanmu Intan, coba
periksa cerpenku. Berikan komentar, kritik dan saranmu! Judulnya ’Dari Hatiku
untuk Acehku’, ayo Intan!” seru Dian masih bersemangat.
”Aku yakin hasilnya sudah bagus. Kamu
membuatnya dengan penuh perjuangan. Dari hati untuk Aceh bukan? Jadi tidak
perlu dibaca lagi aku sudah tahu hasilnya. Kamu pasti menang!” seru Intan tak
kalah bersemangat.
”Jangan bicara seperti itu Intan, ini cerpen
pertamaku. Aku yakin hasilnya jauh dari kata sempurna. Aku mohon dibaca dulu,
dimana yang kurang akan ku perbaiki? Ayolah Intan?” paksa Dian dengan memasang
wajah tak sendunya.
”Ya, ya, baiklah! Sini biar aku baca ulang.”
***
Hari yang cerah, dengan harapan akan membawa
berkah. Dian datang dengan kursi rodanya bersama Intan. Mereka bertemu dengan
teman lama mereka saat masih sekolah dasar dulu yaitu Ratna.
”Hai Dian, Intan. Tidak menyangka bertemu
kalian ditempat seperti ini. Siapa yang mengikuti lomba? Kau Intan?” Tanya
Ratna melirik Intan dengan pandangan meremehkan.
”Bukan, tapi Dian,” jawab Intan sekenanya.
”Si lumpuh ini?” Tanya Ratna begitu menohok.
Dian menunduk, Intan bisa melihat ekspresi sedih dimata Dian.
”Jaga bicaramu Rat!” seru Intan penuh dengan
amarah.
”Apa ada yang salah? Masih bermimpi ingin menjadi
seorang penulis? Mimpi si lumpuh?” sindir Ratna.
”Yang akan menang itu aku. Bukan si lumpuh
yang hidupnya penuh mimpi!” cibir Ratna.
”Iya, aku memang lumpuh. Apa salah seorang gadis
lumpuh bermimpi? Apa ada larangan bagi seseorang untuk bermimpi? Toh mimpiku
tidak merugikanmu? Aku bermimpi, tapi aku juga berdoa, berusaha, pantang
menyerah dan semangat. Apa itu salah?” Tanya Dian sarat akan perlawanan. Ratna
melirik Dian dan Intan bergantian.
”Kita lihat nanti, siapa yang berhak untuk
bermimpi!” Ratna berlalu meninggalkan Dian dan Intan.
”Sudahlah, orang seperti Ratna tidak perlu
untuk ditanggapi,” Intan mendorong kursi roda Dian mendekati tenda karena
sebentar lagi akan ada pengumuman juara 1, 2, dan 3 lomba menulis cerpen.
***
”Aku menang!” seru Ratna, sengaja melewati tempat
Dian dan Intan berada.
”Piala ini cukup untuk meyakinkanmu kan? siapa yang
sebenarnya berhak untuk bermimpi,” sindir Ratna.
”Aku memang kalah Ratna, tapi aku tidak sedih
atau pun menyesal mengikuti lomba ini. Karena aku mendedikasikan ini untuk
Aceh, dari hati untuk Aceh. Bukan dari hati untuk piala, atau untuk juara. Aku
sudah berjuang hingga akhir, jadi aku merasa bangga pada diriku sendiri. kamu
boleh memandang rendah diriku. Tapi, aku yakin usahaku adalah yang terbaik
untukku. Ayo kita pulang Intan,” Dian berlalu bersama Intan. Meninggalkan Ratna
yang merenungi perkataan Dian dalam diam.
Semua belum terlambat. Membanggakan Aceh mungkin
salah satu impian semua masyarakat di Aceh. Dari segi manapun usaha yang akan
kita lakukan. Jika semua di awali dari hati maka akan dihargai dari hati pula.
Oleh karena itu perjuangkanlah sesuatu yang sangat berarti dalam hidupmu.
Aceh…
Indah bumi para pejuang
Indah akhlak budi pekert
Satu nama yang ku kenang
Satu hati tuk mencinta
Aceh…
Tak banyak yang dapat kuberi
Hanya doa yang selalu menghiasi
Disini aku dilahirka
Disini aku dibesarkan
Disini pula aku akan disemayamkan kelak
Tanah Acehku tercinta
Maaf ku dan maaf mereka
Karena kami… sekarang namamu tak se elok
dahulu kal
Tapi satu janjiku
Janji pemuda pemudimu
Kami kan mengharumkan namamu
Menerbangkan ACEH ku
Jauh ketempat yang lebih tinggi dimasa yang
akan dating
Seluruh jiwa dan raga
Ku kerahkan untukmu
Dari hatiku untuk Acehku tercinta…
END
BY BEST FRIEND : MUTIA AGUSTISA