Mengupayakan keberhasilan adalah juga OTOMATIS upaya menghindari kegagalan

Selasa, 21 April 2015

Mencari Sahabat



Dalam perjalanan hidupnya. Tidak setiap orang bertemu dengan teman dekatnya, yang karena dekatnya lalu disebut sebagai sahabat. Bertanya-tanya mengapa orang lain memiliki sahabat sementara dia sendiri tidak.
tidak dekat dengan siapapun, bilapun orang lain merasa dekat. Ia merasa biasa-biasa saja.
Ia tidak tahu kepada siapa bisa bercerita. Tidak tahu kepada siapa hendak pergi bersama. Merasa begitu tenang sendirian, karena terbiasa sendiri. Merasa tidak suka diusik, meskipun ingin sekali bercerita. Tapi kepada siapa.

Ia tidak pernah merasa sangat dekat kepada siapapun. Setiap kali kakinya melangkah, matanya menangkap perasahabatan orang lain. Mendengar dari kata-kata teman. Dan ia tidak pernah memilikinya.
Ia hidup sendiri. Merasa sendiri dan begitu mencintai kesendiriannya. Meski pada saat yang sama dia bertanya-tanya. Siapakah yang sanggup menembus hatinya.

Ia sendiri tidak tahu, apakah dia yang memiliki tembok yang tinggi atau orang lain yang membatasi dirinya. Ia merenungkan arti persahabatan dari orang-orang. Ia tidak tahu. Orang datang silih berganti di dalam hidupnya, tidak pernah ada yang benar-benar tinggal lama. Sebagai teman baik.
Ia menanyakan pada dirinya. Apa yang sebenarnya ia butuhkan. Sebab apa ia memiliki batas yang begitu tinggi. Sampai kapan ia akan menutup diri. Sampai kapan ia akan memberikan kepercayaan kepada orang. Mungkin cukup kepada satu orang, teman hidup. Sahabat yang mungkin hanya akan ada satu saja sepanjang hidupnya.

Tekat itu yang menentukan

Belajarlah berpikir lebih sederhana (yang namanya belajar ya enggak langsung bisa, tapi kalau enggak mau belajar ya susah bisa). Bahwa kehidupan memang selalu ada risiko, bahwa setiap risiko tidak bisa terus menerus dihindari.
Karena seringkali tanpa sadar kita tengah bunuh diri dengan ruetnya pemikiran kita sendiri. Semakin banyak ruetnya, semakin sering pula waktu terbuang, sadar-sadar sudah kembali dihimpit sesal.
Sadarkah kita, sering kali kita terlalu manja pada perasaan, seakan-akan mereka ada tujuan paling utama, padahal banyak kewajiban yang masih terlupakan.
Sudah yakinkah yang benar kewajiban sudah dikerjakan dengan matang?
Oh, Tuhan, betapa rasa memang memabukkan, karena sekalinya kita menelan bulat-bulat kita jadi makin ketagihan.
Hanya yang benar-benar bersungguh, yang akan lebih cepat menemukan jalan.
Sudahkah kita benar bersungguh?

Oh, Tuhan, betapa kita terlalu terlena pada gunung perasaan. Bahwa kita, tengah dengan senang membiarkan perasaan menjajah harapan-harapan baik yang masih Engkau sembunyikan di hari depan. Betapa kita tengah menjadi perugi yang tak lekas sadar diri.
Waktu tidak akan mengajarkan apapun, selain kita yang benar bertekad mau mempelajari alur kehidupan.