Mengupayakan keberhasilan adalah juga OTOMATIS upaya menghindari kegagalan

Selasa, 25 Juni 2013

Ayah

Ayah
( Untuk Ayah : Rudianto )
Oleh : Eva Juliyanti
Ayah….
Kau pemberi namaku
Kau pemberi identitasku
Aku dulu bukan apa-apa
Aku hanyalah seonggok sampah,
Tercecer di trotoar berbau, tak bernilai guna

Berkat kau Ayahku…
Aku menjadi sesosok batu cadas
Tak segan-segan berdiri di pingggi trotoar itu
Aku tegar, aku kuat
Berkat tangan kerasmu

Tanganmu menampar-nampar sampah itu
Tanganmu pula menjadikan sampah itu
Menjadi batu, batu cadas yang kokoh
Tak kan goyah, walaupun di hantam
Ribuan bahkan jutaan debu,Polusi
Mmenginginkan batu ini rapuh
Dan kembali menjadi sampah
Namun kau, menghalanginya

Sabtu, 15 Juni 2013

DARI HATIKU UNTUK ACEHKU

”Lomba menulis cerpen untuk umum?” Dian membaca brosur yang tertempel dipapan dekat gang rumahnya. ”Temanya ’dari hati untuk Aceh’ dan untuk memperingati delapan tahun Tsunami,” lanjut Dian mengeratkan pegangan pada tongkat disisi kanan dan kiri lengannya.

”Aku harus mengikuti lomba ini, masih punya waktu dua minggu sebelum pengumpulan cerpennya. Tapi, bagaimana caranya aku menulis? Cerpennya harus diketik, bukan tulis tangan, dan aku tidak tahu harus meminjam computer siapa,” Dian membalikkan badannya dan bersandar dipapan yang ditempeli brosur tadi. Sedetik kemudian Dian tersenyum senang, ”Aku bisa menabung sehari seribu rupiah, dalam satu minggu bisa terkumpul tujuh ribu. Mungkin itu akan cukup untukku ke warung internet diseberang jalan raya!” seru Dian bersemangat. 

”Dian sedang apa disini?” Tanya Intan mengagetkan Dian. 

”Eh Intan, aku sedang membaca brosur lomba menulis cerpen. Insya Allah aku ingin mengikuti lomba ini Tan, temanya sangat menggugahku untuk ikut berpartisipasi,” terang Dian membenarkan letak kedua tongkat yang menopang tubuhnya itu. Dian dan Intan berjalan dengan beriringan meninggalkan jalanan sembari berbincang-bincang.

”Jadi kamu berniat menabung sisa dari uang jajan yang diberikan bunda?” Tanya Intan meyakinkan Dian.

 ”Iya Tan, tidak ada cara lain. Aku tidak mungkin meminta uang pada bunda. Kamu tahu kan, bunda pasti akan sangat marah jika tahu uangnya aku pergunakan untuk pergi ke warnet, apalagi anak-anak lain juga pasti membutuhkan uang, bukan hanya aku anak bunda. Masih banyak adik-adik lain yang lebih membutuhkan,” jelas Dian. 

”Tapi, uang jajan kita hanya lima ribu perhari Dian, belum lagi uang kas kelas yang seribu perhari, ongkos naik labi-labi pulang pergi dua ribu rupiah, dan hanya tinggal dua ribu jajan kita? Kamu mau menyisakannya untuk ke warnet? Jangan bercanda Dian, mau jajan apa hanya dengan seribu rupiah perhari?” Tanya Intan sedikit tidak percaya dengan ide Dian.

”Hanya uang jajanku Tan, bukan kita. Lagipula aku bisa menahan lapar saat jam istirahat dengan membaca buku di perpustakaan, kalau memang tidak bisa. Aku akan pulang jalan kaki ke—”

”Jangan bercanda Dian!” potong Intan. ”Pulang jalan kaki? Jalan kaki katamu?” Intan menatap Dian kesal.
 ”Tidakkah kamu menyayangi dirimu sendiri Dian? Kita naik labi-labi saja sudah harus menempuh perjalanan jalan kaki berapa ratus meter untuk sampai ke panti asuhan? Dan sekarang? Kamu bilang mau jalan kaki? Kamu bercanda Dian,” lanjut Intan sembari melirik kearah tongkat dan kedua kaki Dian yang sudah tidak berfungsi.

“Anak ini begitu keras kepala, berjalan kaki? Bukannya tongkat yang menjalankannya selama ini? Kenapa dia begitu keras kepala ingin mengikuti lomba menulis cerpen. Mungkin benar karena memperingati Tsunami Aceh, mengingat kami berdua sama-sama anak yatim piatu korban Tsunami yang diasuh di panti asuhan. Dian pasti ingin memberikan sesuatu untuk Aceh. Tapi, tidak harus dengan menyiksa dirinya seperti ini,” batin Intan.

”Aku akan melakukan usahaku sediri Tan, aku mohon untuk kali ini. Biarkan aku berjuang sendiri. tidak ada salahnya bukan? Aku ingin menghasilkan karyaku sendiri untuk Aceh, untuk Ibu dan Ayahku di surga,” Dian menatap langit, begitu rindu akan belaian hangat sang Ibu, dan nasihat-nasihat dari sang Ayah. Delapan tahun hidup di panti asuhan membuat Dian tau apa arti perjuangan hidup. Untuk kali ini dia sudah bertekad akan mengikuti lomba dan berjuang sampai batas akhir.

***
”Ini hari pertama,” gumam Dian sebelum akhirnya berangkat kesekolah bersama Intan. 

”Kamu keras kepala Dian,” Intan menatap sendu kearah Dian. ”Apa biaya untuk formulir pendaftarannya sudah ada?” Tanya Intan, sontak mengejutkan Dian.

 ”Aku lupa Tan, sepulang sekolah kita harus ketempat kemarin lagi ya? hari ini aku harus menabung dua ribu. Biaya formulir pasti lebih mahal dari biaya ke warnet walau hanya dua jam,” suara Dian melemah. Sedikit merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa dia melupakan hal yang begitu penting yaitu biaya formulir untuk mengikuti lomba ini.

Sepulang sekolah, seperti yang dikatakannya saat pergi tadi. Dian dan Intan kembali ke tempat dimana pertama kali Dian melihat brosur tersebut, dipersimpangan jalan raya dekat gang. Ternyata sesuai dugaan dian, bahwa biaya formulir itu jauh lebih mahal dari biaya untuk ke warnet.

”Tiga puluh ribu Dian,” ucapan Intan seolah menyadarkan Dian untuk memikirkan akan mendapatkan uang darimana. Bahkan untuk menulis saja Dian harus menabung sehari seribu demi biaya ke warnet. 

”Kamu ingin menyerah Dian?” Tanya Intan hati-hati. 

”Apa aku terlihat seperti ingin berhenti dan menyerah?” Dian balik bertanya.

 ”Tidak akan semudah itu aku berhenti Tan, aku akan mencari cara lain supaya mendapatkan biaya untuk membeli formulirnya,” Dian menatap Intan dan berkata, ”Aku tidak akan pernah menyerah pada keadaan, karena aku percaya usaha ku akan dilihat oleh Allah.”

***
Ke esokan harinya, Dian mulai menjajakan barang dagangannya. Sepulang sekolah kemarin, Dian mempunyai ide untuk membuat gantungan tas dari kain flannel. Semua kreatifitasnya membuat Dian bisa menghasilkan berbagai macam bentuk boneka yang lucu-lucu. 

”Aku tidak menyangka ini akan berhasil Intan, semuanya laku, dan teman-teman memesannya lagi besok. Terima kasih atas bantuanmu Intan, sepulang dari sekolah nanti, aku akan mengembalikan uang tabunganmu yang aku pinjam untuk membeli kain ini. Setelah itu, lebih dari uang ini akan aku pakai untuk membeli kain yang sama. Ini pasti akan cukup untuk biaya formulir lombanya,” terang Dian tersenyum senang.

 ’Terima kasih ya Allah, atas jalan yang engkau mudahkan untuk hamba,’ batin Dian.

***
Tepat seminggu sudah Dian mengumpulkan uang jajannya. Hari ini, sepulang sekolah Dian sudah memutuskan untuk mampir ke warung internet di seberang jalan sebelum gang panti asuhannya. Intan sudah lebih dahulu pulang untuk memberi alasan kepada Bunda angkat mereka peruhal Dian belum pulang. 
Saat hendak menyeberang jalan, tidak sengaja Dian melihat anak kecil berlari-larian dipinggir jalan. Dari arah berlawanan terlihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Dian mempercepat langkah tongkatnya agar bisa memegang tangan anak kecil tadi agar berhenti berlari-lari karena akan membahayakan nyawanya. Tapi, anak kecil itu malah ketakutan saat melihat ada orang yang berlari dengan tongkat kearahnya. Merasa seperti dikejar-kejar, anak kecil ini pun menyeberang jalan dan semuanya terjadi begitu cepat. Tangan dian menahan kap mobil dan anak kecil dibelakang dian ikut terhuyung kearah berlawanan. 


”DUARRRR!!!”


Ledakan besar terjadi sesaat setelah tabrakan. Mobil yang menabrak Dian dan anak kecil itu melambung karena dari awal dikemudikan dengan kecepatan tinggi. Percikan-percikan saat kecelakaan itu membuat mobil tersebut terbakar.

Dian dan anak kecil tadi dilarikan kerumah sakit Zainal Abidin dengan cepat. Sesaat setelah itu keadaan di lokasi kejadian menjadi begitu ramai. Sedangkan semua keluarga yang terlibat dalam kecelakaan berbondong-bondong datang untuk melihat keadaan anak mereka. 

***
”Dian…,” isak tangis terdengar dari Intan dan bunda mereka. melihat keadaan Dian sekarang, mereka tidak tahu harus memberikan penjelasan seperti apa kepada Dian saat sadar nanti. 

”Bunda…, Dian bunda,” Intan menangis melihat kondisi sahabatnya. Bunda langsung memeluk Intan dengan sigap. Menenangkan anak asuhnya yang sedang terpuruk.

”Jangan menangis nak, Dian akan kuat. Percayalah padanya, Dian bukan anak yang lemah. Tsunami delapan tahun silam sudah membuktikan betapa kuatnya Dian. Kedua kakinya diamputasi karena terhantam benda keras kan? Tapi, lihatlah? Dia begitu ceria, tidak pernah menujukkan betapa putus asanya dia akan kehidupannya. Remaja berumur enam belas tahun yang harus menanggung pedih yang seperti ini? Dian kuat kan? sekarang pun Dian pasti akan kuat. Percaya padanya nak. Allah akan melindungi Dian…,” Bunda menenangkan dan memeluk Intan, meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

”Dian,” terdengar suara Intan kembali memanggil Dian. Intan menitikan air mata menyaksikan Dian terbaring lemah dengan berbagai alat yang terpasang ditubuhnya.

 ”Inta—an,” panggil Dian dengan suara yang terputus-putus.

 ”Kamu akan baik-baik saja Dian,” Intan mendekat, dan sedetik kemudian memeluk Dian erat. 

”Tangan… tangan kananku tidak bisa digerakkan Intan, tanganku kenapa?” Tanya Dian lirih. 

”Semua akan baik-baik saja Dian,” Intan mengulang dan meyakinkan Dian akan baik-baik saja. 

”Aku Tanya tanganku kenapa? Tanganku Intan? Kenapa tidak bisa digerakkan?” Tanya Dian mengeraskan suaranya. Nafasnya memburu, jantungnya berdetak cepat, seolah satu fakta pedih harus diterimanya sesaat setelah Intan menjawab.

”Tangan kananmu lumpuh Dian, hantaman yang begitu keras membuat tulang ditanganmu retak, dokter tidak bisa melakukan apa-apa, tapi mereka sudah berusaha melakukan yang terbaik,” jelas Intan, air mata kembali mengalir dari sudut matanya saat melihat Dian memejamkan matanya. Seolah menahan rasa perih yang begitu dalam, rasa sakit yang tak terhingga, hingga membuat seolah dia begitu tak berarti lagi ada di dunia ini.

 ”Cerpen! Cerpenku! Bagaimana aku menulisnya Intan! Bagaimana aku mewujudkan impianku untuk mengikuti lomba itu!” dengan sigap Intan memeluk Dian, mencoba menenangkan sahabat terbaiknya.

 ”Berhenti memikirkan lomba itu Dian! Bahkan disaat seperti ini kamu masih memikirkannya. Lupakanlah, sekarang kamu harus fokus pada kesembuhanmu. Bukan yang lain!” bentak Intan.

***
Sudah empat hari Dian dirawat di rumah sakit. Hari ini Dian sudah bisa duduk seperti biasa, hanya saja perlu pengawasan agar kondisinya tidak drop tiba-tiba. Kursi roda yang diduduki Dian berjalan mengelilingi taman rumah sakit. Intan yang mendorongnya mencari tempat yang agak sejuk agar mereka bisa berteduh disana.

 ”Intan,” panggil Dian mengawali kecanggungan mereka. Sejak hari dimana Intan membentaknya. Mereka berdua jadi sama-sama menjaga jarak dan jarang berbicara.

 ”Maafkan aku,” ucapan maaf keluar dari bibir Dian. 

”Maaf karena begitu keras kepala. Aku tahu kamu mengkhawatirkanku. Tapi, sekali saja. Ijinkan aku untuk mengikuti lomba itu Intan. Aku ingin berpartisipasi dan menciptakan satu karya dari hatiku ini untuk orangtuaku, untukmu, untuk bunda, untuk anak-anak panti asuhan yang lain, dan yang terpenting adalah untuk Acehku tercinta, Aceh kita Intan. Tidak bisakah sekali ini saja, bantu aku lagi Intan? Aku janji ini yang terakhir. Ini yang terakhir aku bersikap keras kepala. Yang aku punya sekarang ini hanya kalian. Dengan kondisi seperti sekarang ini aku yakin tidak akan bisa melakukan apa-apa. Oleh karena itu bantu aku Intan? Aku mohon…,” Dian menangis dalam diam. Terlihat Intan berdiri membeku, tak mengeluarkan sepatah kata pun.

***
Perawat masuk dengan membawa laptop rumah sakit yang dipinjamnya dari dokter yang menangani Dian. Intan yang memberitahukan semua ini pada suster Fira. 

”Terima kasih banyak suster,” Dian memeluk suster Fira erat.

 ”Sama-sama Dain, mulailah menulis dengan tangan kirimu. Jika tidak sanggup lagi, minta tolonglah pada Intan. Dia pasti akan membantumu. Ini formulirnya, silahkan kamu isi untuk Dian, ya Intan?” kata Suster Fira kemudian keluar ruang perawatan karena masih banyak perkerjaan lainnya. 

”Isi saja formulirnya Intan, akau harus menyelesaikan ini sendiri dan tepat waktu!” seru Dian bersemangat.

 ”Sikap keras kepalamu muncul lagi ckck,” gerutu Intan.

Seharian Dian berkutat dengan laptop dan lima jarinya. Akhirnya cerpen Dian pun selesai, ”Aku butuh bantuanmu Intan, coba periksa cerpenku. Berikan komentar, kritik dan saranmu! Judulnya ’Dari Hatiku untuk Acehku’, ayo Intan!” seru Dian masih bersemangat.

 ”Aku yakin hasilnya sudah bagus. Kamu membuatnya dengan penuh perjuangan. Dari hati untuk Aceh bukan? Jadi tidak perlu dibaca lagi aku sudah tahu hasilnya. Kamu pasti menang!” seru Intan tak kalah bersemangat. 

”Jangan bicara seperti itu Intan, ini cerpen pertamaku. Aku yakin hasilnya jauh dari kata sempurna. Aku mohon dibaca dulu, dimana yang kurang akan ku perbaiki? Ayolah Intan?” paksa Dian dengan memasang wajah tak sendunya.

 ”Ya, ya, baiklah! Sini biar aku baca ulang.”

***
Hari yang cerah, dengan harapan akan membawa berkah. Dian datang dengan kursi rodanya bersama Intan. Mereka bertemu dengan teman lama mereka saat masih sekolah dasar dulu yaitu Ratna.

 ”Hai Dian, Intan. Tidak menyangka bertemu kalian ditempat seperti ini. Siapa yang mengikuti lomba? Kau Intan?” Tanya Ratna melirik Intan dengan pandangan meremehkan.

 ”Bukan, tapi Dian,” jawab Intan sekenanya.

 ”Si lumpuh ini?” Tanya Ratna begitu menohok. Dian menunduk, Intan bisa melihat ekspresi sedih dimata Dian.

 ”Jaga bicaramu Rat!” seru Intan penuh dengan amarah. 

”Apa ada yang salah? Masih bermimpi ingin menjadi seorang penulis? Mimpi si lumpuh?” sindir Ratna.

 ”Yang akan menang itu aku. Bukan si lumpuh yang hidupnya penuh mimpi!” cibir Ratna. 

”Iya, aku memang lumpuh. Apa salah seorang gadis lumpuh bermimpi? Apa ada larangan bagi seseorang untuk bermimpi? Toh mimpiku tidak merugikanmu? Aku bermimpi, tapi aku juga berdoa, berusaha, pantang menyerah dan semangat. Apa itu salah?” Tanya Dian sarat akan perlawanan. Ratna melirik Dian dan Intan bergantian. 

”Kita lihat nanti, siapa yang berhak untuk bermimpi!” Ratna berlalu meninggalkan Dian dan Intan.

 ”Sudahlah, orang seperti Ratna tidak perlu untuk ditanggapi,” Intan mendorong kursi roda Dian mendekati tenda karena sebentar lagi akan ada pengumuman juara 1, 2, dan 3 lomba menulis cerpen.

***
”Aku menang!” seru Ratna, sengaja melewati tempat Dian dan Intan berada.  
”Piala ini cukup untuk meyakinkanmu kan? siapa yang sebenarnya berhak untuk bermimpi,” sindir Ratna.

 ”Aku memang kalah Ratna, tapi aku tidak sedih atau pun menyesal mengikuti lomba ini. Karena aku mendedikasikan ini untuk Aceh, dari hati untuk Aceh. Bukan dari hati untuk piala, atau untuk juara. Aku sudah berjuang hingga akhir, jadi aku merasa bangga pada diriku sendiri. kamu boleh memandang rendah diriku. Tapi, aku yakin usahaku adalah yang terbaik untukku. Ayo kita pulang Intan,” Dian berlalu bersama Intan. Meninggalkan Ratna yang merenungi perkataan Dian dalam diam.

Semua belum terlambat. Membanggakan Aceh mungkin salah satu impian semua masyarakat di Aceh. Dari segi manapun usaha yang akan kita lakukan. Jika semua di awali dari hati maka akan dihargai dari hati pula. Oleh karena itu perjuangkanlah sesuatu yang sangat berarti dalam hidupmu.

Aceh…
 Indah bumi para pejuang
 Indah akhlak budi pekert
 Satu nama yang ku kenang
 Satu hati tuk mencinta
 Aceh…
Tak banyak yang dapat kuberi
 Hanya doa yang selalu menghiasi
 Disini aku dilahirka
 Disini aku dibesarkan
 Disini pula aku akan disemayamkan kelak
 Tanah  Acehku tercinta
 Maaf ku dan maaf mereka
 Karena kami… sekarang namamu tak se elok dahulu kal
 Tapi satu janjiku
 Janji pemuda pemudimu
 Kami kan mengharumkan namamu
 Menerbangkan ACEH ku
 Jauh ketempat yang lebih tinggi dimasa yang akan dating
 Seluruh jiwa dan raga
 Ku kerahkan untukmu
 Dari hatiku untuk Acehku tercinta…

END

BY BEST FRIEND : MUTIA AGUSTISA

Kamis, 13 Juni 2013

AKU MASIH DISINI, MASIH SEPERTI INI


Aku Tak Pernah Berhenti tuk meyakinkan mu Bahwa Persahabatan ini Takkan Pernah Berakhir Dari Satu Titik Kita Memulainya Dan tak bisa Berakhir begitu saja Persahabatan selamanya yg slalu bersua dimana kasih kita distu persahabatan kita karena persahabatan ini hanya karena kasih yang setia Tapi . . .. kamu pergi kamu berubah kini kamu tidak seperti dulu lagi tidak seperti janji kasih persahabatan ini Walau begini sampai hari ini aku masih disini masih seperti ini menunggu mu untuk menjadi sahabat kembali Masih disini , masih begini menunggu mu menjadi yg dulu lagi menunggu mu untuk memulai hari yang awal lagi, sahabatku..... aku akan tetap setia menjadi sahabatku selalu dmnapun kau berada sekarang :)

Mereka Tetap Sahabatku




Angin…tiupkanlah dirimu kepadaku… 
Menerpa wajahku yang dirundung
 
pilu
 
menampar jiwaku yang kelabu..
 
Menghempaskan rambutku yang kaku
 
hujan…kenapakah engkau mesti
 
berlalu…
 
Aku menunggumu membasahasi
 
ragaku
,
aku mengejarmu, nafasku memburu…
 
Sampai menembus kerikil bukit batu
 
kerudung malam menyelimuti bumi…
 
Aku berharap menjadi tambatan rindu
 
saat aku bercerita tentang dirinya
 
yang kini terhalang rentangan waktu..
 
Angin laut tak pernah mau
 
berhembus…
 
Hujan yang aku tunggu telah berlalu
 
kepada siapakah aku akan berbisik…
 
Tentang rindu dan kegelisahan itu
 
angin laut hanya “merayu” rindu…
 
Dan awan hujan membelakangiku
 
mereka serempak menertawaiku
 
yang telah mabuk dalam buaian
 
rindu…
 
Aku termangu mangu menjadi bisu…
 
Terbahaklah yang memandangku
 
yang tersenyum hanya malu malu
 
aku juga menjadi malu, kepada
 
langit…
 
Kepada mendung…, kepada mega..,
 
dan kepada awan awan yang berarak
 
melewatiku…